Sunday, September 2, 2012

Di Balik Layar

Jalanan macet seperti biasa, namun ia tahu bagaimana harus menunggu. Ia mengeluarkan iPad yang dibeli seminggu lalu, kemudian membaca buku elektronik yang diunduh kemarin. Sesampainya di kantor, ia menyalakan komputer. Sembilan jam berikutnya ia habiskan di depan layar, sambil sesekali mengirim pesan pendek untuk kekasih.Manusia modern barangkali menginvestasikan separuh nyawanya di layar. 

Pagi-pagi ia bangun, mengintip waktu di layar telepon seluler. Masih sempat bersantai, ia membaca email dan media sosial. Ia menyapa para follower di Twitter sebelum berangkat kerja. “Pagi yang cerah. Selamat pagi tweeps!”

Ilustrasi (Thinkstock)Selepas kerja, ia janjian dengan kekasihnya untuk menonton film terbaru di bioskop. Pulang ke rumah, ia beristirahat. Mandi, makan, duduk santai, dan menyalakan televisi, sampai ketika ia tertidur dan kembali pagi. 


Layar telah menjadi bagian tak terlepaskan dari hidup kita yang sekarang ini serba cepat. Layar, selain jadi gudang hiburan, adalah gerbang informasi dan komunikasi terkini. Layar juga telah mempermudah kita melakukan berbagai aktivitas, dari yang sederhana seperti menulis atau membaca, hingga yang serumit upacara bendera. 

Kehidupan pekerja profesional saat ini turut berutang besar pada layar. Para arsitek, misalkan, tidak lagi menggambar menggunakan meja gambar. Komputer adalah meja gambar mereka. Jurnalis kini lebih cocok disebut sebagai kuli ketik ketimbang kuli tinta. Dalam beradu cepat dengan matahari, mereka kini bergantung pada telepon seluler dan laptop. Dan masih banyak lagi profesi lainnya yang tak bisa bekerja tanpa layar.

Ketergantungan itu menjadi dilematis ketika kita mengakui bahwa manusia, bagaimanapun, adalah makhluk yang mengalami. Ia, melalui persepsinya atas ruang dan waktu, mewujudkan pengalaman. Tapi, ia tidak dapat hadir di dua ruang dalam waktu bersamaan. Jadi setiap kali ia berada di depan layar, ia sebenarnya tidak benar-benar berada di dunia sekarang. Ia bisa berada di mana pun, kecuali di tempat ia berada.

Bukankah mengamati layar juga adalah pengalaman? Betul, tapi pengalaman yang sudah tersaring.

Pengalaman akan ruang dan waktu memungkinkan manusia untuk melibatkan banyak indra di tubuh kita dalam satu momen. Seorang yang sedang menikmati secangkir kopi, misalkan, ia bukan sekadar melihat air hitam pekat. Hidungnya menghirup aroma kopi, yang tanpa sadar membangkitkan hasratnya. Tangannya lalu meraih pegangan, mengangkatnya perlahan. Bibirnya menyentuh pinggir cangkir, perlahan kopi meluap, membanjiri rongga bawah mulut.

Lidahnya menyeruput — telinganya bisa mendengar suara seruput itu — lalu mengecap paduan rasa pahit, asam, dan manis. Setelah menikmati rasanya, ia lalu meneguknya, selagi hangat. Pengalaman kaya hanya dalam secangkir kopi.

Tetapi, layar kemudian menyaring pengalaman manusia, setidaknya dengan dua cara. Pertama, layar mereduksi penggunaan indra dalam mengalami menjadi sebatas visual dan audio. Kedua, konten yang dihadirkan di dalam layar itu sendiri adalah representasi dari pengalaman sebenarnya. Ketika menyaksikan video konser, kita sedang menyaksikan rekaman kamera video yang merepresentasikan konser tersebut. Representasi, tentu saja, mereduksi pengalaman sebenarnya.

Tidak ada yang salah dengan reduksi tersebut, dan saya juga bukan orang yang paranoid dengan layar. 

Tetapi, ada yang lalu memudar apabila layar dengan perlahan tapi pasti menggerus lebih banyak porsi di kehidupan kita: kepekaan. Kita akan semakin jarang menggunakan indra kita seutuhnya dalam mengalami apa yang ada di sekitar kita — alam dan orang-orang yang jaraknya justru tak sampai 10 meter.

Suatu kali, saya membaca di Facebook sebuah tulisan tentang permainan yang bisa Anda lakukan ketika sedang pergi makan bersama teman. Peraturannya sederhana: setiap peserta harus meletakkan telepon seluler di atas meja, dan siapa yang menyentuh telepon miliknya terlebih dahulu, ia yang harus membayar tagihan makan.

Permainan ini barangkali sebuah satir yang bermaksud menyindir ketidakhadiran diri kita di dunia nyata. Permainan ini memaksa kita — kecuali Anda bersedia mentraktir teman-teman Anda — untuk berinteraksi dengan sungguh-sungguh dengan orang-orang yang secara fisik berada di sekitar kita, tanpa teralihkan perhatiannya. 

Permainan ini berusaha melawan peran layar yang menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh.

Namun, permainan ini juga mungkin hanya lelucon di balik layar yang tidak akan pernah kita lakukan. Dunia kita kini, ada di hadapan kita sekarang. Di depan layar.

Sumber

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar di postingan saya kali ini. Silahkan datang kembali pada post-post saya berikutnya ^_^

Click This Widget